Bulan Yang Merangkul Malam.

Di sebuah kota yang padat, dimana jumlah kendaraan lebih besar dari pada jumlah manusianya, hiduplah seorang pria penyendiri yang sedang sibuk membersihkan gitarnya. Gitar yang menjadi saksi bisu kehidupannya, hartanya yang sangat berharga, yang sangat dia sayang melebihi apapun yang ada di dunia yang kejam ini. Dia terus menggosok gitar itu di bagian yang tadi sudah digosoknya berkali-kali. Seolah gitar itu akan mengeluarkan jin yang akan mengabulkan semua keinginannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 09:30 WIB saat dia memantapkan gosokan yang terakhir pada tali senar gitarnya. Dia lalu melangkah ke luar, bersiap untuk memulai pertualangan barunya. Dengan mengenakan baju kaus putih polos dan celana jeans yang sengaja di gunting hingga sampai di atas lutut, dia pun terus berjalan dengan gitar yang disandang di bahunya.

Dia sampai di kawasan dimana dia biasanya melakukan ritualnya. Sebuah wartek kecil yang berada di dekat trotoar jalan, dengan pelanggan yang sedang asik menyantap makanannya, dan sambil bicara seru dengan orang yang berada di sampingnya. Tak ambil pusing, seolah bagai prajurit yang mencabut pedang dari sarungnya, dia pun menyiapkan gitar ke posisi siap tempur. Dia memeluk gitar itu dan jarinya menyentuh tali senar dengan tangan kiri yang membentuk kunci C. Lantunan lagu Rhoma Irama yang berjudul Ani pun keluar dari mulut kecilnya. Sangat merdu, sendu dan mendayu. Dia terus bernyanyi sekalipun tidak ada orang yang mendengar.

Belum ada setengah lagu, tapi seseorang dermawan sudah memasukkan kepingan logam ke dalam kaleng kecil yang sudah disediakannya.

“Ah, kepingan receh pertamaku.” Pikirnya senang

Dia masih bernyanyi dan sekarang berpindah dari tempat duduk satu ke tempat duduk lainnya.

“Ngapain dikasih sih mas? Suaranya juga ga bagus-bagus amat.” Terdengar suara wanita dengan nada memprotes dari arah belakangnya

“Ga apa-apalah, abisnya berisik, mas ga tahan. kan sekarang dia udah pergi.” Balas pria yang tadi memberinya kepingan uang logam.

Pria itu mendengar percakapan singkat suami istri tadi. Tapi dia tidak perduli, dia hanya tersenyum sambil melantunkan lagu Ani yang dibawakannya.

Sudah sejam lebih dia mengamen di sekitaran warteg tadi. Dikarenakan lelah, dia memutuskan untuk istirahat sebentar. Dia mengeluarkan air minum dari dalam tasnya dan meneguknya. Dia lalu menghitung penghasilan hari ini. Terkumpul Rp60.000.

“Alhamdulillah.” Ucapnya bersyukur.

Setelah setengah jam istirahat. Dia akhirnya memulai kembali pertempuran ke duanya. Kali ini dia berpindah lokasi ke sebuah Bus yang sedang parkir menunggu penumpang. Dia melangkah masuk, Bus masih kosong. Dia pun duduk di salah satu bangku Bus itu, menunggu penumpang yang lain datang, karena percuma jika dia bernyanyi sekarang, tidak bakal ada yang mendengarkan. Lama dia menunggu tapi penumpang tak kunjung ada. Dia lalu beranjak dari kursinya dan melangkah turun dari bus. Dia baru sadar jika seseorang mengikutinya turun dari Bus. Seorang anak sepertinya berumur 13 tahun, dengan wajah polos dan mengenakan sendal jepit. Anak itu terus mengikutinya kemanapun dia pergi. Dia tahu tapi pura-pura tidak memperhatikan

“Ntar juga pergi.” Pikirnya dalam hati.

Tapi sang anak terus mengikutinya kemanapun. Dia mulai kesal, dan melihat ke arah anak itu dengan tatapan mmengusir

“Kenapa kau mengikutiku?” Katanya sedikit kesal.

Anak itu cuma menggeleng dan tertunduk takut. Dia pun melanjutkan perjalanannya untuk pindah ke tempat selanjutnya. Setibanya dia di sebuah pasar, dia lalu mencari tempat yang berpotensi menghasilkan duit. Dia memilih sebuah warung makan yang memang pelanggannya sedang ramai.

“Mbak, saya boleh ngamen di sini gak?” Dia bertanya kepada pemilik rumah makan.
“Boleh mas, tapi lagunya lagu anak muda ya mas, jangan dangdut.” Balas mbak pemilik warung.

“Sip mbak, makasih ya.” Sambil berjalan ke arah meja terdekat. 

Dia lalu memikirkan sebuah lagu. Lagu yang lagi tren sekarang, lagu tentang penghianatan, semua anak muda pasti tahu lagunya.

“Katakanlah sekarang bahwa kau tak bahagia, aku punya ragamu tapi tidak hatimu…” Sejenak perhatiannya tertuju ke arah pintu masuk. Anak itu masih mengikutinya. Anak yang tadi turun dari Bus dengannya. Anak itu balas melihatnya.
“…kau tak perlu berbohong kau masih menginginkannya, kurela kau dengannya asal kau bahagia.” Dia melanjutkan lagunya yang sempat terpotong. 

Dia melihat anak itu sedang memperhatikan makanan yang tersusun di atas meja.
Setelah selesai menyanyikan lagu anak mudanya, dia pun melangkah menghampiri si anak tadi.

“Kau lapar?” Tanyanya pada anak itu.
Anak itu mengangguk memelas

“Sini, ikut aku.” Dia mengajak anak itu ke salah satu meja makan yang masih kosong. Anak itu pun berlari menghampirinya dengan girang.

“Mbak, makan satu ya.” Teriaknya pada mbak penjaga warung

“Lauknya apa mas?”

“Terserah mbak.”

Si mbak pun datang membawa sepiring nasi dengan lauk rendang dan kuah kari. Anak itu lantas makan dengan lahapnya tanpa memperhatikan sekitar.

“Siapa namamu? Mengapa kau berkeliaran sendiri? Orang tuamu dimana?” Tanya pria itu.

Anak itu hanya terdiam sejenak, lalu lanjut makan. Sebentar saja nasinya pun habis. Anak itu terlihat sangat senang.

“Kau sangat lapar rupanya.” Pria itu melanjutkan pertanyaanya.

“Apa kau tidak mendengarku? Aku bertanya siapa namamu? Mengapa kau berkeliaran sendiri di kota?” Seolah tidak perduli anak itu hanya terdiam dan memandang pria itu.

“Ah, sudahlah. Kembali lah ke rumahmu. Orang tuamu pasti khawatir, aku pergi dulu.” Pria itu berdiri ke arah kasir dan membayar makanannya. 

Pria itu melangkah keluar rumah makan.
“Sepertinya cukup untuk hari ini. Aku sudah mengumpulkan uang untuk makan malam nanti.” Pikirnya dalam hati.

Diapun bersiap untuk pulang, menyandang kembali gitarnya. Dan melanjutkan perjalanannya.

Dia pun sampai ke rumah dan mencari kunci yang tadi diletakkannya di bawah vas bunga. Tapi betapa kagenya dia melihat seseorang berdiri di belakangnya. Anak itu mengikutinya lagi.
“Astaga, apa yang kau lakukan di sini? Kan sudah ku suruh kau untuk pulang?” Pria itu bertanya dengan wajah kaget.

Percuma, anak itu tetap tak mau bicara. Dia hanya terdiam, berdiri di tempatnya.
“Kau tersesat? Apa kau tidak tahu jalan pulang?”
Anak itu mengangguk.

“Huft, yasudahlah. Ayo masuk, sepertinya hari akan hujan. Besok aku akan membawamu ke kantor polisi, siapa tahu mereka bisa membantumu.” Dia mempersilahkan anak itu masuk.

“Duduklah dimana saja, aku akan membuatkanmu teh hangat.” Pria itu berjalan ke dapur dan mulai memasak air. Anak itu hanya terdiam disana. Duduk rapi tanpa terganggu. Dia bahkan tidak tahu dimana dia berada sekarang. Bisa saja pria ini adalah penculik atau pembunuh. Tapi anak itu terlihat tidak perduli.

“Minumlah, kau pasti letih seharian mengikutiku.” Berkata Sambil menyuguhkan teh hangat pada anak itu.

Anak itu lalu menerimanya dengan senang dan mulai meniupnya.

“Apa kau memang tidak bisa bicara atau bagaimana?” Pria itu bertanya untuk kesekian kalinya. 

Tapi anak itu tetap tidak menggubris pertanyaannya.

“Kamarku cuma satu, kau istirahatlah di dalam, aku akan tidur di sini.”

Keesokan harinya pun tiba. Pria ini sudah berada di kantor polisi, berharap polisi bisa menemukan orang tuannya. Dia mengisi beberapa berkas untuk dijadikan bukti.

“Untuk sementara anak ini tetap akan tinggal dengan bapak ya. Soalnya kami tidak memiliki kamar kosong disini. Nanti setelah orang tuanya menghubungi kami, saya akan menjemputnya di rumah bapak. Tidak keberatan?”

“Yah, tidak mengapa. Tapi sebaiknya bapak berusaha keras, saya bukan orang yang sanggup untuk memberinya makan lebih lama lagi. Saya hanya pengamen.” Balas pria itu.

“Kami akan berusaha semaksimal mungkin.”

Pemuda itu lalu keluar dari sana dengan sang anak berada di sampingnya

“Aku tidak mungkin mengantarmu pulang. Lagian kau juga tidak bisa tinggal di rumah sendirian.” Pria itu bertanya kepada si anak “Apa kau ikut mengamen denganku?” Si anak mengangguk tanda setuju.

“Baiklah, tapi kau tidak boleh mengeluh. Cuaca akan sangat panas hari ini.”

Mereka lalu bergerak ke lokasi tempat biasanya pria ini ngamen.
“Kau duduk disini.” Sambil memberikan kursi “Jangan kemana-mana. Ingat?”
Sekali lagi, anak itu mengangguk tanda mengerti.

Pria itu memulai aksinya, kali ini dengan lagu dangdut lainnya. Sepertinya si anak memang tidak mau diam. Dia lantas berdiri dan mengambil kaleng tempat uang receh, dan mulai berkeliling untuk meminta sumbangan. Pria itu sangat kaget atas apa yang dilakukan si anak. Dia ingin menghentikannya tapi sepertinya si anak tidak ingin dihentikan. Pria itu lantas membiarkan si anak melakukan apa yang sedang di lakukannya.

“Anak pintar” pikirnya sambil tersenyum.

Seharian mereka mengamen, dengan si anak yang kian lincah bergerak kesana kemari memintak sumbangan. Hari sudah mulai sore. Mereka bersiap untuk pulang.

“Itu hanya untuk hari ini saja. Besok kau tidak lagi membantuku mengamen, kau paham? Aku tidak mau dikira mengeksploitasi anak di bawah umur.” Pria itu berkata pada si anak. 

Tapi seperti biasa anak itu tetap tidak menjawab dan hanya tersenyum.

Sepertinya butuh waktu lama bagi polisi untuk menemukan orang tua anak ini, sudah dua minggu berlalu. Si anak tetap tinggal bersamanya di rumah ini. Mereka kian akrab. Si anak sekarang bukan hanya mengangguk dan tersenyum, sekarang dia juga tertawa. Anak itu tetap ikut mengamen setiap harinya. Seperti tidak mau dilarang, anak itu tetap membantu si pria mengamen, dia berkeliling dengan kaleng yang berada di tangannya. Si pria tidak lagi mencoba melarangnya melakukan itu.

Waktu terus berlalu, hubungan mereka makin akrab. Beberapa kali pria itu menceritakan lelucon lawas tentang si kancil yang menipu kawanan singa, dan si anak akan tertawa girang mendengarnya.

Anak ini bagaikan bulan yang menerangi gelap hidup malam pria ini. Berkat anak ini, si pria tidak lagi kesepian. Sekalipun si anak tidak mengucapkan apapun, tapi pria ini sudah puas. Mendengar dia tertawa saja sudah membuat hati pria ini tenang.

Saat si anak jatuh sakit. Pria ini begadang semalaman untuk menjaganya. Dia bahkan tidak mengamen demi untuk berada dekat si anak.

Pria itu pergi ke supermarket untuk membeli obat. Dia membayar obat dengan uang hasil mengamen dan sebenarnya uang itu untuk sarapan besok pagi. Tapi tidak mengapa, sarapan bisa dipikirkan besok, yang jelas si anak harus sembuh.

Pria itu tiba di rumah, dia heran ada mobil mewah yang parkir di depan rumahnya, dan juga mobil polisi.

“Maaf pak, ada apa ya?” Pria itu menanya pada polisi yang berada di depan rumahnya.

“Mas ini yang nemuin anak itu kan? Kami sudah berhasil menghubungi orang tua kandung si anak. Itu mereka.”

Sepasang suami istri keluar dari mobil mewah itu, dia melihat si anak sudah berada di jok belakang mobil, bersandar lemah.

“Saya mengucapkan banyak terima kasih, mas sudah merawat anak saya. Saat itu dia ingin menemui ayahnya di kantor tanpa sepengetahuan saya. Dia lantas keluar rumah. Dan sejak itu kami tidak tahu keberadaanya. Hingga polisi menghubungi kami.” Wanita muda itu berkata.

“Oh. Iya tidak mengapa, saya senang bisa merawatnya, tapi saat ini dia sedang sakit. Aku baru saja membelikan obat.” Si pria memberikan obat itu pada si wanita.
“Oh! Tidak mengapa, kami akan membawanya ke rumah sakit, sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih sama mas, dia pasti sangat susah hidup disini makanya sampai jatuh sakit.” Balas wanita itu.

“Apa saya bisa bertemu dengannya sebentar?”

“Tentu saja.”

Si pria berjalan ke arah mobil, dan melihat si anak masih tertidur lemah. Badannya masih panas. Si pria mengelus rambut si anak, dan menatap wajahnya dalam-dalam karena mungkin dia tidak akan bisa lagi bertemu dengan anak ini.

“Kalau saya boleh tahu, siapa namanya?”
“Reyhan.” Jawab si ibu

Mereka pun pergi, meninggalkan pria ini sendiri.

Pria itu melihat sekeliling ruangan. Sepi. Biasanya si anak ada disana dengannya, sedang duduk rapi membaca komik yang dibelikan pria itu. Tapi sekarang semuanya sudah hilang. Komik itu masih tersusun rapi di meja. Tidak tersentuh. Ruangan ini terasa pengap seketika. Seolah Bulan yang selama ini menerangi malamnya, hilang ditelan awan gelap
“Reyhan.” Bibir pria itu berucap.

19 tahun kemudian.

“Apa semuanya sudah disiapkan?” Seseorang wanita berbicara dengan bawahannya

“Sudah buk, semua sudah tuntas. Saya boleh pulang sekarang?”

“Pergilah, tidak ada lagi yang dibutuhkan, biar aku yang mengurus pak tua itu.”
“Baiklah.” Kata wanita itu sambil berlalu.

Ruangan luas dengan ranjang yang tersusun rapi, sebuah meja di samping ranjang yang diatasnya terdapat bunga lili dengan vas kaca. Terlihat seorang pria tua paruh baya sedang memandang ke arah luar jendela. Mukanya letih seolah menggambarkan apa yang sudah di laluinya semasa mudanya.

“Bapak baik-baik aja? Mari saya bantu ke tempat tidur.” Wanita itu berkata lembut kepada pak tua itu. “Seseorang ingin bertemu dengan bapak, katanya dia teman bapak. Boleh saya persilahkan masuk?” 

Pria itu mengangguk.

Wanita itu keluar sebentar dan masuk lagi membawa seseorang. Pemuda tampan, dengan wajah bersih terawat mengenakan seragam TNI masuk melangkah. Senyum pemuda itu merekah ramah, pemuda gagah itu langsung menggenggam erat tangan pak tua itu, wajahnya menyiratkan rasa rindu yang teramat sangat.

“Apa bapak masih mengingat saya?” Pemuda itu bertanya dengan lembut.

Pak tua itu hanya memandang sekilas wajah pemuda itu lalu membuang pandangannya tanda tak tertarik.
Dengan mata yang berkaca-kaca, pemuda itu lantas bernyanyi

“Katakanlah sekarang bahwa kau tak bahagia, aku punya ragamu tapi tidak hatimu…” Pemuda itu ingin melanjutkan nyanyiannya tapi tidak bisa, air matanya turun tanpa disadari, sesenggukan menangis pilu.

Mendengar nyanyian itu pak tua itu lantas tertegun, memandang lekat ke arah pria gagah ini, dan ia pun mulai meneteskan air mata. Rasa rindu yang dipendamnya pada anak yang dulu mengikutinya turun dari Bus itu, keluar sudah, semua meluap bagaikan air pasang laut. Pak tua itu memeluk erat pemuda itu. Seorang anak yang dulunya bahkan tidak bisa bicara dan kebingungan di dalam Bus, kini berubah menjadi pemuda tampan dengan seragam TNI.

“Saya sudah mencari bapak kemana-mana, saya kembali ke rumah bapak yang dulu yang sempat saya tinggali, tapi rumah itu sudah ditempati orang lain, saya tidak tahu lagi harus mencari bapak kemana, saya sempat putus asa dan menyerah, hingga seorang teman menyarankan saya untuk mencari ke panti jompo, saya memeriksa setiap panti jompo yang ada di kota ini, hingga akhirnya saya menemukan bapak.” Pemuda itu tak kuat lagi menahan rasa harunya, dia berbicara dengan air mata yang masih mengalir di pipinya. “Maafkan saya pak, maafkan saya tidak mencari bapak lebih awal.”

“Reyhan.” Pak tua itu berkata lirih

“Iya pak, nama saya reyhan. Saya belum sempat memberitahukan kepada bapak, saya benar-benar minta maaf.” Pemuda itu bersujud dan memeluk kaki pak tua ini.

“Kebaikan hati bapak sudah menginspirasi saya, bapak merawat saya, orang yang tidak bapak kenal, saya tidak pernah menyerah dengan semua masalah yang saya hadapi, karena saya tahu bagaimana susahnya hidup bapak, dibandingkan dengan hidup saya, perjuangan bapak sangat berarti dan terasa perih.” Pemuda itu masih menangis sesengukan.

“Bangunlah, jangan bersujud. Aku masih ingin melihat wajahmu, kau sudah banyak berubah. Tapi tidak dengan wajah ini-sambil mengelus wajah pemuda itu-wajahmu masih menyiratkan keluguan. Wajah yang sama yang saya lihat 19 tahun lalu didalam Bus itu.” Pak tua itu berusaha tegar menahan harunya. 

Pemuda itu sekali lagi memeluk pak tua dengan kasih sayang, seperti seorang anak yang akhirnya berjumpa dengan ayah kandungnya. 

Kebaikan hati pemuda yang dulu telah menyelamatkannya membawa si anak ke kehidupan yang lebih baik. Pencarian si anak ahirnya berakhir. Dia berhasil menemukan orang yang paling ingin dijumpainya itu. Berterima kasih sedalam-dalamnya karena telah menyelamatkannya. 

Dan kini Bulan yang dulu sempat tenggelam dengan awan hitam, sekarang muncul lagi dengan sinar yang memenuhi seluruh dunia dan kembali merangkul malam yang gelap

22 pemikiran pada “Bulan Yang Merangkul Malam.

      1. Bukan pengamennya yang jadi TNI mas, tapi si anak. Si anak jadi belajar arti kehidupan, berusaha, pantang menyerah hingga dia bisa jadi seperti sekarang ini, dia belajar dari si bapak pengamen, bahwa hidup itu keras, tapi sibapak tidak pernah mengeluh. Di kehidupan yang susah yang bahkan untuk makan pun kadang ada kadang tidak, tapi si bapak masih mau ngerawat anak yg tidak dia kenal, itu menjadi inspirasi buat si anak hingga dia menjalani kehidupannya dengan rasa syukur.

        Suka

      2. Iya, tapi emg ga ada hubungannya ngamen sama jadi TNI. menjadi TNI sudah takdir si anak, tapi hidup berusaha dan pantang menyerah si pengamen yang menginspirasi si anak

        Suka

Tinggalkan komentar